Uncategorized

Bahagia

Aku pernah merasa bahagia saat mengangkat jemuran baju kering yang dicuci dengan pelembut pakaian, baju yang menjadi lembut dan wangi yang enak.

Itu terjadi saat kami belum lama tiba di christchurch. Saya tidak ingat, apakah suami sudah bekerja atau belum, tapi yang pasti kami masih hidup prihatin (wei…sekarang juga masih sih). Tapi saat itu kami sedang hemat-hematnya, belanja sangat diperhitungkan, sampai ingin membeli pelembut pakaian pun perlu pertimbangan panjang. Dan saat itu, setelah memutuskan membeli, dan pertama kali menggunakannya, ada perasaan bahagia yang muncul saat bisa menyimpan pakaian dan seprei yang lembut dan wangi.

Bertahun-tahun menggunakan segala macam pewangi di Indonesia, tidak pernah muncul perasaan berterimakasih dan bahagia seperti itu.

Aku setuju, bahagia adalah being mindul and grateful for little things.

Aku juga pernah merasa bahagia saat menatap langit penuh bintang di langit Jakarta yang kelam, dan langit (lebih) penuh bintang di langit West Melton yang bersih di dekat sebuah observatorium.

Saat masa pencarian sekolah dan beasiswa dulu, hatiku pernah berbunga-bunga setiap kali lihat logo amplop bergaris tepi merah, lambang ada pesan baru di gmail di gawai, email balasan dari supervisor.

dan walaupun sulit untuk mindul setiap saat, aku pernah merasa bahagia dengan hanya duduk dan menyadari betapa beruntungku aku masih hidup, bernafas, dan sehat. Atau ketika pulang ke rumah, dan berkumpul bersama semuanya, tertawa dan bersama.

Bahagia adalah merasa cukup.

Saat perncarian beasiswa dulu, aku pernah merasa, hanya akan bahagia jika aku berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Dan di sinilah aku sekarang, bertanya-tanya, apakah aku mengambil jalan yang salah, dan alangkah bahagianya jika aku dan suami punya usaha yang mapan, di Jakarta!

Tapi saat aku menyadari betapa susah jalan yang kami tempuh untuk ke sini, dan betapa berharganya hidup ini, di manapun kami berada, aku merasa bersyukur ada di sini. Memang, di sini jauh dari keluarga, di sini teman terbatas, di sini hidup cukup menantang, dan studi merayap dan terseok. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, kami akan mengingat masa-masa di sini sebagai masa-masa yang indah.

Bahagia adalah ketika tidur-tiduran di karpet di depan tv bersama anak-anak, menonton bersama.

Bahagia adalah ketika Owen membawa pulang hasil oral presentationnya yang di luar dugaan.

Bahagia adalah ketika Lala, dengan matanya yang bulat lucu, bertanya menggemaskan,”beneran?”

Bahagia adalah tawa anak-anak terbahak-bahak, entah tentang apa.

Bahagia adalah bersepeda menembus dingin, menikmati udara segar.

Bahagia adalah ketika berkumpul bersama teman-teman, tertawa menikmati waktu.

Ada banyak cara untuk bahagia, yang termudah adalah dari hal-hal kecil yang ada di mana-mana.

 

Uncategorized

Kangen

Kadang-kadang aku merindukan memiliki saudara sekota.

Sejak keluar dari rumah 18 tahun lalu, aku memang tidak pernah menoleh balik. Tidak pernah sekalipun menyesali keputusan itu. Pengalaman bertahun-tahun hidup di kos, dan menjalin persahabatan yang mungkin tidak pernah kudapatkan kalau tidak keluar rumah, tidak tergantikan.

Tapi kadang-kadang menyelip juga setitik rasa rindu, terutama saat hidup sedang membantingmu keras. Alangkah senangnya, kalau ada rumah abang, tempat untuk pulang. Teringat film perahu kertas, saat Kugy minggat ke rumah abangnya. Aku rindu rasa itu, rasa bahwa kita punya jaring pengaman yang siap menampung kita saat kita tergelincir dan tidak ada pegangan.

Pulang ke medan kemarin, aku merasakan kemewahan hidup dalam keluarga. Selama pulang, kami tinggal di rumah mama tentu saja. Tapi adik perempuan dan abangku tinggal berdekatan, hanya beda beberapa gang. Kakak perempuanku tinggal agak jauh, sekitar sejam bermobil, namun itu pun seminggu sekali pasti bersua. Bagi para menantu, mungkin itu tidak mudah, hidup dalam himpitan keluarga besar. Dan ya, bagi kami pun kadang-kadang tidak mudah, karena begitu besarnya rombongan, hingga kalau mau ke mana-mana pun memang agak repot.

Tapi saat kembali ke sini, aku kangen sekali kondisi itu. Saat kami pergi makan bersama-sama di malam minggu atau minggu malam. Sekali keluar, kami biasanya 4 mobil, hampir 20 orang beserta anak-anak dan bayi. Ramai sekali.

Kadang-kadang, kalau sedang sedih, aku suka merindukan abangku. Aku ingin bisa muncul di rumahnya  kapan saja, dan menghilang sejenak dari hidupku.

Merantau adalah pilihan. Pilihan yang kusyukuri. Tapi kadang aku merindukan keluarga dalam jangkauan.

Uncategorized

Kerja Kerja Kerja

Kalau melihat perjalanan orang-orang sukses, kerja keras selalu jadi bagian dari cerita. Walaupun bagian yang tidak mengenakkan itu jarang diceritakan, atau jarang mau didengar orang. Banyak yang terlihat seperti sekonyong-konyong sukses, atau mendapat durian runtuh, atau dicap beruntung. Aku pribadi meyakini, there’s no such thing.

Tapi entah mengapa, makin ke sini, kok aku makin malas.

Dulu zaman S1, rasanya aku rajin banget deh. Mudah fokus, dan mengerjakan yang perlu dikerjakan dulu sebelum menggratifikasi diri sendiri dengan kesenangan seperti baca novel atau nonton. Tapi sekarang sebaliknya, mudah sekali memberi imbalan bagi diri sendiri berupa facebookin, atau nonton, atau browsing-browsing hal menyenangkan lainnya, padahal tahu kerjaan menumpuk di sebelah, atau menumpuk di dalam tas, yang sebelumnya niat untuk dikerjakan. Yah, seperti sekarang ini. Artikel jurnal ada tepat di sebelah, siap dengan stabilo dan pulpen, menunggu untuk dibaca. Tapi malah entah ngapain dari tadi.

mengeluh dan mengutuki diri sendiri juga bukannya menyelesaikan masalah. rasa bersalah malah bikin ga semangat.

Eh, tapi zaman S1 aku juga suka baca2 novel deng siang-siang, dan baru belajar malam2 atau pagi-pagi. Sekarang susahnya mungkin karena ga ada deadline yang mepet ya. Zaman apoteker dulu apalagi, wih..karena kerja part time juga, jadi pengelolaan waktu benar-benar ketat. Di perjalanan naik bus dari kampus ke tempat kerja, bisa selesai mempelajari satu pelajaran buat ujian keesokan harinya. Pulang selalu di atas jam 9 malam, kadang-kadang pagi sudah harus berangkat lagi, tapi selalu berhasil belajar dan juga membuat laporan.

Tapi studi PhD ini benar-benar berbeda sih. Menghapal tidak bisa lagi membantu. Kita dituntut untuk berpikir, benar-benar berpikir. Dan dituntut untuk rajin, telaten. Analisis data gila-gilaan, hasilnya mungkin cuma 1 atau 2 halaman tesis. Tapi kayaknya memang harus dilakukan.

semangat lah!!!

ingat kata pepatah, tidak ada hasil yang mengkhianati usaha. Every hard work pays..

 

Uncategorized

Sepi

Salah satu hal yang paling mengganggu di sini setelah tinggal sekian lama, adalah rasa kesepian. Aneh memang, dengan suami dan 2 anak, kadang-kadang hal itu terasa. Dulu, dari sejak sekolah, kuliah, hingga saat bekerja, hal itu ga pernah begitu terasa. Waktu sekolah dan kuliah, ada teman-teman dekat yang setiap hari berdiam di sekitar. Saat kerja, ada teman-teman baik di kantor yang dengan mereka bisa mengobrol setiap saat, paling tidak saat makan siang. Saat ada masalah, tinggal curhat, apapun itu.

Hal ini lebih-lebih terasa setelah pulang liburan ini. Aku kembali pada kebiasaan mengecek handphone. Walaupun facebook sudah di-uninstall, ternyata tetap ada dorongan untuk melihat, mengecek apakah ada sesuatu dari seseorang di gawai itu. Hati merindukan suatu hubungan, pertalian dengan seseorang yang akrab, jauh maupun dekat. Saat liburan di rumah dulu, orang di mana, hp di mana. ga digubris kadang-kadang.

Mungkin ini mengapa, hal yang paling menyentuh dan terasa akrab saat pulang kemarin (kecuali keluarga tentu saja), adalah saat ada orang-orang asing yang giat mengkepo dan membantu kita di mana saja. Pernah waktu di jakarta, saat baru pulang dan sedang mau ke bank mengurus pencairan BPJS, pas baru turun dari ojek dan mau melangkah ke tempat fotokopi, baru ingat kalau KTP tertinggal di kantor, tempat tujuan sebelumnya. KTP kuserahkan ke satpam untuk mendapatkan tanda kunjungan, dan sialnya lupa kuambil kembali gara-gara buru-buru mau ke bank. Setengah perjalanan ke tempat fotokopi, aku putar balik mau kembali mencari ojek. Eh dilalah, bapak-bapak parkir menegur, “Katanya mau fotokopi mba?”

“Iya, KTP ketinggalan pak.” jawabku

Bapaknya malah geleng-geleng, mengisyaratkan ketidaksetujuan akan kecerobohanku. Kejadian ini biasanya bikin aku sebel, tapi entah kenapa, kali ini terasa akrab. Inilah rumah, pikirku, saat orang-orang berani kepo pada siapa aja, karena sok deket sok akrab. 🙂

Juga saat kami naik busway dan angkot, orang-orang asing di sebelah dengan sukarela menawarkan bantuan informasi dan panduan, bahkan saat kita tidak bertanya. Cukup berdiskusi saja dengan teman sendiri, dan akan ada bantuan dari orang-orang sebelah kita. Lagi-lagi hal yang kurasa menyenangkan, hal yang kupikir tidak ada di sini.

Eh tapi, saat pulang kemarin, ada kejadian  mengejutkan lo. Saat kembali ke rumah, secara mengejutkan, rumput di halaman cukup terkendali, tempat sampah bersih dan kosong. Padahal kami lupa meminta teman untuk mengeluarkan tempat sampah ke jalan agar bisa dikosongkan. Di sini, seminggu sekali ada mobil pengangkut sampah yang beredar, membuang isi tempat sampah, tapi semua dengan  mesin, jadi kita harus mengeluarkan tempat sampah ke tepi jalan di hari sesuai jadwal. Mana di sini ada 3 macam tempat sampah, sampah umum, sampah organik, dan sampah daur ulang. sampah umum dan organik hanya diangkut 2 minggu sekali. Nah, kami baru ingat meminta tolong teman mengeluarkan sampah di minggu terakhir sebelum pulang. Tapi kata teman, tempat sampah yang organik sudah kosong. Ternyata, tetangga sebelah selama ini membantu mengeluarkan sampah dan juga memotong rumput di halaman. Mereka juga merapikan surat-surat di kotak pos, agar tidak kelihatan bahwa rumah sedang tidak berpenghuni. Luar biasa. Sungguh, aku sangat takjub, padahal selama ini tidak yang terlalu dekat banget. Memang, waktu mereka tinggal keluar negeri beberapa bulan, mereka ada titip rumah, tapi kami ga ngapa-ngapain, hehe.

Lalu kemarin di pesawat dari Auckland ke Christchurch, ketemu sama orang bule  yang baik banget, dan andry cukup mengobrol banyak. Orang ini menghapus stereotipku tentang orang bule yang cuek dan individualist.

Ini kok jadi ngelantur ya. Aku hanya mau bilang, kayaknya rasa kesepian itu bukan karena tempat, atau orang-orangnya. Di mana-mana, ada saja orang yang baik dan peduli, dan di Indonesia, tentu saja ada orang yang cuek dan ga mau tahu sekitar. Mungkin kalau naik bus di sini, dan kami kebingungan dan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, ada juga orang yang bantuin ya.

Hanya saja di sini, ada hal-hal yang begitu berbeda. Misalnya dalam mengobrol sajaa, aku kok sampai sekarang masih ga bisa mengobrol dengan santai sama beberapa rekan kerja. Kalau mereka becanda, bagi aku tuh ga lucu aja. Akrabnya paling sama temanku yang orang vietnam, yang kalau mengobrol masih bisa nyambung.

Selain itu, mungkin waktu juga yang membatasi. Kalau mau berteman, bisa saja mungkin pergi ngopi-ngopi sama teman, tapi yah kembali, waktu ga banyak di sini. Ngurus rumah aja kadang udah keteteran. Makanya pelariannya kadang ke handphone.

yah begitulah, tapi harus fokus menyelesaikan sekolah ah…sosialita bisa menunggu nanti..