Uncategorized

Just a thought

Yesterday a friend of mine poured his heart on how he lacked support during his PhD, and a while ago, I learnt that another friend had converted his PhD to Master as he felt that he couldn’t move forward with the current support he had at the moment.

The significance of good supervising and support system is real. When I looked back on my own journey, I realized that I have been saved multiple times by the amazing supervisor and support system I have, both on my personal side, and even more profound in the department where I did my PhD.

I remember having my low moments in the second year, where spirit was running low, and all results seemed trashy. I would like to think that I have done tremendously well to overcome those and finally finished my PhD, but looking back now, I realized how much I have been supported to be able to do it.

Yes, PhD need preseverance, resourcefulness and determination, but if you keep hitting a wall over and over again, with no way out in sight, or if you have been ignored, not taken care of, feeling lost without any hand to point you to the right direction, it need a huge huge effort to move on confidently and keep sane.

The other day, I read a twit regarding appropriate training for PhD, and totally agree. After all, PhD is a training, a training to perform research independently, a training to think scientifically, to solve problem. As important as the inherent quality of the PhD trainee to complete the training is the quality of the training program and trainer (in this regards, supervisors and departmental and university support).

Uncategorized

The last two decade(s)

2000 – 2020

Lots of things happened in the past decade, and I feel like to put a memento here. But then I realize, lots of things happened too, in the decade before, so I put them here too 🙂

2000 – moving to Bandung, left home for the first time, living alone for the first time, college, making friends become family.

2004 – graduated from BSc, started working as an intern, be financially independent for the first time (not fully though)

2005 – graduated from apothecary, start a real full time job, moving to Jakarta

2006 – met Eka for the first time

2007 – started dating Eka

2008 – started my Master

2009 – getting married, moving to Bekasi

2010 – finished my master

2011 – Owen 🙂

2013 – Lala 🙂

2015 – got my PhD acceptance and scholarship

2016 – moving to christchurch, started my PhD

2019 – touch down Europe for the first time (only UK), submitted my PhD

2020 – finished my PhD, started a research job (although temporary)

Uncategorized

PhD journey – finish line

Semua ini berawal di suatu siang di tahun 2015, kapan tepatnya, aku sudah tidak begitu ingat. Masa-masa itu, waktu makan siang di kantor adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu setiap harinya. Kebanyakan waktu, makan siang adalah bersama Anggit, walau kadang-kadang ramai-ramai juga bersama teman yang lain. Pilihan makan siang pun sebenarnya itu-itu saja di sekitar kantor, masakan padang karunia jaya di seberang kantor, atau Sederhana jika sedang ingin bermewah-mewah sedikit, atau pecel bawal/ayam di trotoar jalan di atas selokan, atau soto ary di kramat 6, atau warung rumahan pinggir jalan juga di kramat 5, atau kantin sekolahan di kramat 7. Rasa-rasanya, itulah pilihan paling sering, walau kadang-kadang diselingi tongseng atau sate, atau gado-gado. Ditambah kadang-kadang dengan dessert berupa es podeng atau rujak, atau es cendol. Masa-masa makan siang ini adalah waktunya mengobrol yang menyenangkan, ngobrol dari hati ke hati, cerita macam-macam. It’s highlight of the day.

Di masa-masa makan siang inilah, mimpi-mimpi masa depan terajut, lalu mewujud menjadi tekad, dan kemudian rencana. Bulan Maret 2015, aku mulai berburu segala perlengkapan melamar beasiswa, yang sebenarnya lumayan berat kalo dipikir-pikir: surat referensi, dan ielts, dan kemudian berburu supervisor. Aku tidak terlampau dekat dengan dosen-dosen masa kuliah. Hanya ada beberapa, dan akhirnya dengan menebal-nebalkan muka, akhirnya berhasil mendapatkan dua surat referensi, satu dari dosen S1 dan satu dari dosen S2. Kalau dipikir-pikir lagi, berat dan serius sekali perjuangan kala itu. Dijalankan dengan tekad baja, dan itu tadi, muka tebal :). Mengirim email-email ke orang-orang tak dikenal, menjual diri dan berusaha terlihat pintar. Singkat cerita, di akhir bulan Juli 2015, surat acceptance dan scholarship PhD tiba-tiba sudah di tangan. Ok..tidak tiba-tiba juga sih, tapi terasa sangat cepat.

Setahun kemudian, akhir Juli 2016, kami mendarat di Christchurch, di tengah musim dingin. Iya, dari konfirmasi mendapatkan beasiswa sampai benar-benar memulai itu, jedanya 1 tahun, karena waktu itu Prof. supervisorku membebaskan untuk mau memulai kapan saja. Biar masa persiapannya ga mepet, aku memilih satu tahun kemudian, haha..pas selesai masa sekolah, biar Andry juga keluar kerjanya enak. Kami mendarat tanggal 27 July 2016, di tengah malam, di tengah musim dingin. Untung minggu itu tidak terlampau dingin, suhu sekitar 10° malam itu. Kami dengan baik dijemput oleh Martin (spv ku) dan Karen, istrinya, dan menginap di rumah mereka malam itu. Dan besoknya hingga 2 minggu setelahnya, kami tinggal di airbnb, sambil mencari rumah.

Masa-masa awal PhD merupakan masa-masa yang berat. Perjuangan mencari rumah, perjuangan mencari kerja, perjuangan anak-anak memulai kindy dan sekolah, perjuangan memahami bahasa inggris Kiwi yang super susah, dan perjuangan menyesuaikan diri secara umum.

Tahun pertama PhD terasa relatif tidak begitu susah, walaupun setiap hari semakin menyadari bahwa diri ini sebenarnya bodoh. Semakin banyak dikerjakan, semakin banyak rasanya hal yang tidak kutahu. Tahun pertama ini, ada 2 project yang kukerjakan, yang akhirnya terus berjalan dan berkembang hingga tahun terakhir, karena tidak ada hasil yang konklusif. Tapi di luar itu, penyesuaian diri di tempat kerja (dalam hal ini kampus), yang sungguh terasa agak sulit. Perpindahan dari tempat kerja yang sudah seperti rumah kedua, yang sudah kenal hampir semua orang, ke tempat baru, yang tidak kenal siapa-siapa, ditambah sifat yang agak-agak introvert dan anti-sosial :), jadinya memang cukup mengguncang kesehatan jiwa, haha.

Tahun kedua dan awal tahun ketiga, adalah masa-masa yang lebih galau lagi, 2 project awal tadi ditambah satu project tambahan yang kukerjakan, semua tampak tidak jelas hasilnya. Hasil negatif, tidak akurat, tidak konklusif, pusing pokoknya. Aku masih ingat, memasuki awal tahun 2018, aku sangat senewen dan tidak tenang. Memasuki tahun baru 2018 dengan penuh ketakutan dan keresahan. Bahkan, saat pulang liburan awal 2018, rasanya sangat berat untuk balik ke christchurch, karena semua ketidakjelasan project ku tadi.

Akhir tahun 2018, aku mulai mengerjakan proyek terakhir, yang awalnya juga kumulai dengan ragu, takut kalau hasilnya akan tidak jelas lagi. Tapi entah bagaimana, di penghujung tahun dan awal 2019, hasil tampaknya cukup menjanjikan. Project yang pertama kukerjakan juga akhirnya menampakkan tanda-tanda sedikit menggembirakan. Awal tahun 2019, dua paper pre-print dari dua project ini (pertama dan terakhir) pun selesai, yang kemudian terbit, serta pula menghasilkan undangan presentasi di London. kerangka hampir lengkap dari dua project ini pun sudah dalam bentuk bab thesis. Selama kurun waktu ini, aku juga sudah menyusun bab 2, materials and methods.

Setelah dua publikasi ini, pengerjaan sisa dua project lainnya pun menjadi lebih tenang dan santai. Struktur thesis pun mulai terbentuk. Merasa agak santai, aku sempat menghabiskan kira-kira dua bulan mengerjakan side job untuk salah seorang post-doc di tempatku, haha. Walau kemudian aku mundur karena merasa tidak sanggup menyeimbangkan waktu dengan menulis thesis. Paruh tahun kedua 2019, aku pun intens menulis, menyelesaikan dua bab terakhir, dan kemudian menulis bab introduction, merapikan bab method, dan kemudian bab terakhir, diskusi. Aku selesai menulis semua draft sepertinya di bulan Oktober, disambil dengan merapikan revisi-revisi dari supervisor. Dua bulan terakhir di 2019 dihabiskan merapikan dan menggarap revisi dari supervisor. Thesis pun akhirnya disubmit tanggal 19 Desember 2019.

Tiga tahun 5 bulan, bukan masa yang singkat, tapi pas submit pun, terasa masih terburu-buru. Mungkin itulah efek prokastinasi, haha. Tapi ga kok, mengerjakan thesis PhD sepertinya tidak bisa (atau akan stresful sekali) jika prokastinasi. Di 6 bulan terakhir itu, aku menulis dengan jadwal yang tersusun rapi, walau dalam kepala saja, dan memberikan buffer waktu untuk mengantisipasi keterlambatan. Aku sepertinya intens menulis sejak bulan Juli. Saat itu, aku sudah punya 3 bab, yang agak-agak jadi, bab 2, 3, dan 4. Jadi tinggal menulis bab 5, 6, 1, dan kemudian 7. Aku mengalokasikan 1 bulan untuk masing-masing bab. Jadi Juli: bab 6, agustus: bab 5, september: bab 1, oktober: bab 7. November dan desember untuk revisi dan menggabungkan semuanya. Bab 5 dan 6 sepertinya agak-agak molor, karena masih banyak menganilisis dan merapikan data. Tapi untung bab 7 kan lumayan pendek. Barusan cek email, aku kirim bab 6 ke Martin awal September, dan bab 5 di awal Oktober. Jadi molor sekitar 1 bulanan.

Aku juga sangat tertolong oleh Martin yang sangat mendedikasikan waktu untuk membaca dan merevisi thesis, walaupun bab 1 agak-agak lama, dan baru kuterima di awal Desember kalau ga salah. Dan Bab 7 baru aku kirimkan untuk pertama kalinya saat sudah dalam bentuk digabungkan ke keseluruhan thesis. Revisi terakhir baru kudapat kira-kira 1 minggu sebelum tenggat waktu submit di pertengah desember. Desember memang bulan yang pendek, dan kalau ga salah, batas submit adalah 20 Desember. Tapi jika belum selesai, masih memungkinkan untuk submit di hari pertama masuk di bulan Januari. Jadi kemarin, walau mepet, masih ada sedikit rongga untuk bernafas, karena walaupun tidak selesai di bulan Desember itu, masih ada waktu selama liburan natal tahun baru untuk merapikan semua. Tapi waktu itu, rasanya sudah ingin submit secepatnya dan berliburan dengan tenang :).

Jadi begitulah, setelah hari-hari menulis bagai robot, bergadang berhari-hari, mengendam di library, akhirnya thesis tersubmit di tanggal 19 Desember 2019. Sengaja memilih tanggal 19, dan bukan 20. Pertama, agar ada jeda waktu jika ada apa-apa, dan kedua, karena tanggal 19 itu cukup spesial buatku. Tanggal ulang tahun aku dan Eka, tanggal aku pertama kali kerja, tanggal aku pertama kali ketemu Eka juga :).

01 agustus 2016 – 19 desember 2019.

3 tahun 5 bulan.

Uncategorized

A fine day

It’s been a very exciting day.

I think, mainly because my PhD thesis reports just came back to me this morning, after a 3.5-month wait. Other things happened too, added to the excitement of the day. I got the final job offer from the Uni today. It’s a fixed-term job that has been offered to me since early March, but the lockdown since the end of March has been making many things unsettled. This is basically a lab-based work, and a part of me does not think that I deserve a pay during this time, where I work fully from home. But my amazing supervisor has arranged to make it happen anyway and give me payment since April 1. it makes a huuuuge difference to our life financially, as well as psychologically.

it’s been a busy day, partly because just yesterday the NZ government announced the lift of level 4 lockdown next week. In level 3, many businesses can resume activities, including the University research activity, so there have been conversations around how this should be arranged to maintain safe dan manageable people in the building at any time. All things like coming together at the same time, including discussion on how I could start my lab experiments. My thought is busy, and excited, and leading to hardly getting anything done but emailing back and forth.

Yesterday, there’s also an announcement on the opening of the Otago Postdoc health science fellowship, with deadline in the coming month, adding some thing to think about. Not to mention the kids’ daily online learning which can sometimes be really demanding for parents to make sure the kids are working properly.

Anyway, the highlight of the day is the thesis reports, of course. I’ve been very nervous about it as time passes. I only spend about 6 months to finish it, with only a month per chapter. and I am pretty anxious about the introduction chapter, feeling that I haven’t done good enough.

So it really came to my surprise that all the three examiners were quite happy with the thesis ^^.

Of course, there are quite a few comments that I still need to work on, but it really gave me the much-needed energy boost.

Uncategorized

What I hope not change

It is so bizarre to think about what we did, just three, four months ago.

Me, I was busy writing thesis, and then busy shopping for our big holiday going home.

It is so bizarre to compare what’s important, now and then.

I was folding the clothes just now, looking at a shirt I bought four months back. I remember feeling necessary and even happy then, buying the shirt. I just can’t relive that feeling now, the feeling of happiness of buying a shirt.

Happiness means something different now, something more difficult, more complicated.

It is so bizarre to think about how easy it was to hop on a plane, fly nine, ten hours flight, transiting five, six hours without worrying about washing your hands, or your kids touching things. Well, when we were flying in January, I was already a bit worried, washing hands more often than usual, putting on mask. But still, it’s a totally different feeling now, an unprecedented anxiety.

I have read about people saying, it’s not about returning to what we had, what we did, what we were, but to embrace the new normal, the new us.

I think, gradually we will get used to stay at home more, wash our hands more, wash our clothes more. And maybe also to the facts that it’s not that easy to connect to the world anymore, to fly here and there, to travel freely for a long long time. We might get used to do things online more. Study, work, chat.

But I just watched this movie. In the end, the grandfather had a stroke, and the family ran him to the hospital, and then they just gathered there, in the hospital lobby, the children and grandchildren, sitting there, chatting, living.

And there, is exactly what I hope not change.

It’s very hard to imagine a world where we cannot gather as a family, as our loved one passing.

Yet, it’s happening now.

But, I am still hanging to the wish, that our world will remain the world where when your loved one sick, you bring them to the hospital, and you stay there with them, with your whole family, mother, father, brother, sister, son, daughter, grandson, granddaughter. A world where you were sitting there in the hospital lobby or hospital room, chatting, living.

Uncategorized

Going home

Note from April’09

My solo going home after a very long time

This going-home journey, this time, is not only going home to my parents, to my roots, but has also been a journey home to myself.

Being myself, after years of being a wife and a mother, a lot of things change in me. A lot of thought flashed through my minds. Inevitable aging, sickness, and finally death. Love, patience, understanding, listening between the lines. Anger, worries, irritation, and a way to get out of them.

When I see Mum, I see myself. The way she is irritated by my Dad is so alike my irritation due to Eka. The bother we created for ourselves. LIke seeing myself through a mirror, I can see clearly that we have options. We have options to hold the grudge and being miserable, or choose to let go, take it easy and maintain the peace and happiness inside. I learn that happiness is something we have to find within ourselves, and something that is essential for being able to love. Happiness is also something we can maintain no matter how irritating and challenging the things outside of us are. The peace and happiness within ourselves is also something essential for being able to see the goodness in others. If we are miserable ourselves, whatever others do or say, it feels like something scratching our ego; but if we are intact inside, we see the person as they are, and realize that they are more than what they say or do.

I also learn that in marriage, the relationship between the spouses is the most important. I always feel like doing everything best for the kids, but I see things differently now. The happiness of mum and dad, and the quality of the relationship is what giving the foundation of the family. It creates stability, warmth, security, and create a safe environment for the kids to grow and develop themselves. I feel this is a very big homework for us. You have to love and like your spouse, you have to enjoy each other’s company. If that’s not the case, you have to work hard for it. Again, going back to the previous points, each have to strive for their own happiness first, to create and maintain the peace within themselves, then it will be easier. Any wound, any trauma has to be healed first.

it’s funny how we communicate as family (my own family I mean, with my brothers, sisters, and parents). We tend not to tell what we really want, especially my parents. Here, I learnt to read (or listen) between the lines, to learn what they actually want. I think I am becoming better and better with it. But as they never tell you what they really want, you’ll never be sure.

I just hope, we (me and my brother and sisters) can contribute to their happiness of our parents and have no regrets when its too late to do anything for them.

Uncategorized

Dear Lala

Salah satu, eh salah dua buku favoritku sepanjang masa adalah Little house of the prairie dan Anne of Green Gable. Buku yang pertama diangkat dari kisah nyata masa kecil penulisnya, dan yang kedua adalah fiksi, tapi terinspirasi dari masa kecil penulisnya juga, karena mengambil setting di Prince Edward Island, Canada tempat Lucy Montgomery menghabiskan masa kecilnya. Tokoh utama dari kedua cerita itu, Laura dan Anne bukanlah gadis yang paling cantik, bahkan sering mereka merasa jelek dan tidak puas dengan penampilan fisik mereka. Tapi keduanya menjadi tokoh favorit banyak anak-anak dan juga orang dewasa di sepanjang masa, karena hal-hal lain yang lebih penting dari sekedar wajah menawan.

Keduanya juga bukan gadis kaya dengan masa kecil di rumah besar bak istana. Laura dibesarkan di keluarga sangat sederhana, cenderung miskin dan Anne anak yatim piatu yang kemudian diangkat anak oleh dua bersaudara Marilla dan Matthew, petani biasa dengan hidup sederhana.

Mereka berdua juga bukan orang yang terbaik di segala hal, bukan yang paling pintar di segala bidang, atau yang memecahkan rekor dunia. Dalam banyak hal, mereka adalah mediokre, seperti kebanyakan orang, seperti kita-kita.

Saat mereka remaja dan beranjak dewasa, mereka bukan gadis yang memikat hati semua laki-laki, atau yang paling populer di sekolah dan lingkungannya. Tapi mereka berdua sama-sama menemukan pasangan mereka, yang kisahnya ditulis dengan indah. Anne dengan GIlbert Blythe-nya, dan Laura dengan Almanzo Wilder-nya.

Tapi ada sesuatu yang membuat mereka begitu memikat. Aku juga tidak sepenuhnya paham apa. Mungkin itu kekuatan watak mereka, kepercayaan diri mereka, atau semata kesederhanaan mereka dan betapa miripnya mereka dengan kehidupan kita seadanya, dan betapa mereka menerima diri mereka apa adanya.

Dear Lala, seiring kamu dewasa, semoga kamu menemukan itu semua, menemukan dirimu, dan mencintai dirimu, sebesar kami selalu mencintaimu.

Uncategorized

Beasiswa S3 di New Zealand

Sejak memulai S3 di Christchurch 3 tahun yang lalu, sudah ingin menulis topik ini, tapi belum kunjung terlakukan. Mungkin inilah saatnya 🙂

1. NZAS

Tidak seterkenal beasiswa ADS dari pemerintah Australia, NZ juga punya platform beasiswa untuk negara berkembang. Untuk Indonesia (dan mungkin beberapa negara tetangga lain), namanya NZAS atau New Zealand Scholarships. Informasi lengkapnya bisa dilihat di sini. Kalau tidak salah, deadlinenya adalah sekitar bulan Maret setiap tahunnya. Aku tidak terlalu hapal, karena bukan mendapatkan beasiswa yang ini. Tapi ada beberapa teman yang S2 dan S3 di Christchurch dengan beasiswa ini saat ini.

2. LPDP

Selain NZAS, tentu saja teman-teman bisa mengapply beasiswa LPDP, tapi katanya sejak tahun lalu, beberapa Universitas di NZ tidak lagi masuk dalam daftar Universitas yang disetujui LPDP. Maklum, NZ adalah negara kecil di ujung selatan dunia. Total ada 7 Universitas di sini, tapi rangking top dunianya memang tidak sementereng Universitas di Inggris maupun USA sana. Sejak perubahan kebijakan ini, memang jumlah mahasiswa dengan beasiswa LPDP di sini langsung berkurang jauh. Sayangnya, aku juga bukan salah satu penerima beasiswa LPDP, walaupun dulu pernah mengirimkan dokumen aplikasi dan mangkir saat jadwal wawancara. That’s another story.

3. NZIDRS

Khusus S3, New Zealand juga punya New Zealand International Doctoral Scholarship (NZIDRS). Ini beasiswa S3 yang terbuka bagi siapa saja di negara mana saja. Aplikasinya ditutup setiap bulan Juli setiap tahunnya. Barusan berusaha cari link nya tapi tidak ketemu, mungkin karena beasiswanya sudah tutup buat tahun ini. Waktu aku mengapply tahun 2015, sekitar bulan maret sudah ada informasi onlinenya. Karena terbuka buat semua negara, beasiswa ini tentu saja superkompetitif, dan aplikasinya juga tidak main-main. Salah satu syarat adalah sudah punya provisional supervisor yang siap menampung kita di salah satu Universitas di New Zealand. Dan tentu saja, aku dulu gagal dengan gemilang meraih beasiswa ini.

Tapi NZIDRS ini sangat berjasa, mendorongku semangat menyiapkan aplikasi beasiswa dengan serius dan tempo sesingkat-singkatnya. Tahun 2015 dulu, ilham untuk mencoba mencari beasiswa S3 ke New Zealand tiba-tiba turun pada suatu ketika saat makan siang bersama teman kantor, di bulan Maret. Saat itu tentu saja sudah terlambat untuk mengapply NZAS, jadi segala upaya difokuskan ke NZIDRS. Dengan deadline bulan Juli, total persiapan yah sekitar 4 bulan itu, mulai dari meminta referensi ke mantan dosen S1 dan S2, persiapan dan kemudian tes IELTS, mengisi aplikasi, dan yang paling berat, mencari supervisor. Karena studi bidang Health science, khususnya human genetic terfokus di Universitas Otago dan Auckland, jadi waktu itu mempersempit area pencarian hanya di Universitas Otago sebagai permulaan. Bukan apa-apa, kata teman yang kuliah S2 di Auckland, biaya hidup di sana lumayan mahal, apalagi buat keluarga. Ternyata tidak sesulit sekaligus juga tidak semudah yang dipikirkan. Berminggu-minggu dihabiskan membaca jurnal dan akhirnya mengemail beberapa calon supervisor. Akhirnya mendapatkan kepastian supervisor itu  sekitar beberapa minggu sebelum deadline beasiswa. Mana aplikasi beasiswa NZIDRS itu harus dikirim hardcopy ke Wellington, mana July itu kan menjelang lebaran, mana mau pulang kampung ke Medan saat itu. Kalau ga salah, hanya punya waktu seminggu untuk memfinalisasi dokumen aplikasi, termasuk membuat proposal penelitian, esai tentang impact research dan meminta calon supervisor mendapatkan surat rekomendasi dari Head of Department. Ingat banget, email dari calon supervisor untuk recommendation letter datang saat lagi jalan-jalan ke Berastagi, haha.

Mungkin karma memang sudah akan berbuah ya waktu itu, semua tiba-tiba berhasil diselesaikan dan aplikasi pun dikirim.

Setelahaplikasi NZIDRS beres, diminta calon supervisor untuk mengisi aplikasi PhD di Universitas dan saat aplikasi ini, diberikan link untuk aplikasi University of Otago Doctoral Scholarship dan ada satu lagi beasiswa universitas otago khusus health science.

Singkat cerita, sebulan kemudian dapat kabar kalau granted universitas of otago doctoral scholarship. Horee.

Beasiswa NZIDRS sendiri masih belum berkabar sampai beberapa minggu/bulan kemudian, lupa.

Kembali ke tadi, setiap Universitas di sini memang punya jalur beasiswa S3 sendiri. Di Otago kalau ga salah, ada jatah sekitar 200 per tahun. Tapi memang sebagian besar akan diserap oleh student domestik mereka. Beasiswa ini tidak ada deadline, tapi mereka mengevaluasi aplikasi dan memberikan beasiswa setiap bulan. Untuk student domestik, syaratnya cukup mudah, asal lulus S1 dan honours first class (atau master), tepat waktu, GPA min 3.6, mereka otomatis granted beasiswa. Jatah sisanya lalu akan diberikan untuk aplikasi dari luar negeri seperti kita-kita ini. Pelamar biasanya selalu akan lebih besar dari jatah, jadi ya sebenarnya kompetitif juga buat international student.

Beberapa pertimbangan yang dilihat dalam skrining untuk beasiswa kampus ini adalah GPA, pengalaman dan output riset sebelumnya. Publikasi juga jadi poin yang sangat krusial di sini. Kalau sudah pernah punya publikasi first author sebelumnya, kesempatan akan lebih besar.

Jadi, GPA (atau IPK) saat kuliah memang bukan tujuan satu-satunya. Tapi kalau mendapatkan hasil yang baik, bisa jadi membuka salah satu pintu kesempatan dan sebaliknya jika hasilnya tidak maksimal, bisa jadi menutup sepenuhnya salah satu pintu itu.

Selamat berburu beasiswa

 

Uncategorized

Connection

I would say a person without any social media account might be amongst the happiest and most content people in the world. They don’t feel the need of people agreeing what they think or say, and don’t need to show the world of what they achieve and for people to admire them. They live in their very real world, with real people and real connection.

I feel myself, whenever I feel lonely and need some connection to the world, I have the urge to post something in my social media, and crave for the likes and comments, crave for the connection with people. But why can’t I connect with the real people in my life? of course they are many faraway friends that I would like to connect with, and it’s where social media comes in. But again, why can’t we just connect to those near to us? Our family, our friends, our housemates, our neighbours?

Uncategorized

September

Haha, pengen ngoceh2 aja, tapi ga tahu mau kasih judul apa. Kata “September” kayaknya manis-manis gimana gitu, jadi sudahlah judulnya September aja.

Belakangan ini, sepertinya di medsos lagi viral cerita seram KKN di desa penari. Ga terlalu ngikutin ceritanya sih, cuma pas baca salah satu versi plesetannya di Mojok yang lucuk nya luar biasa, jadi kok berkesan, haha. Yang kubaca adalah versi dari sudut pandang seekor ular. Penulisnya kok kocak dan pintar sekali merangkai cerita, dari Nagini sampai Pai su chen muncul aja gitu dengan mulusnya. Iri…

Dan dalam rangka mengasah kemampuan (atau ketidakmampuan) menulis, jadilah rasanya pengen menulis di blog, meskipun tidak punya topik khusus untuk ditulis. Sebenarnya, kadang-kadang suka muncul ide ini itu buat ditulis di blog, tapi entah kenapa, idenya suka muncul saat2 tidak kondusif, dan ga ingat buat dicatat, jadilah berlalu begitu saja.

Belakangan ini, beberapa teman bercerita tentang kesusahan masing-masing. Namanya hidup sebagai pelajar di perantauan, tantangannya memang macam-macam, mulai dari keluarga (yang jauh di sana) sakit, supervisor yang tidak supportif, sampai masalah finansial. Seindah apapun tampilan di luar, apalagi di laman medsos masing-masing, semua orang pasti menyimpan perjuangannya masing-masing. Ada teman yang berjuang menyelesaikan tesis S3 sampai sering sekali bermalam di kampus, ada teman yang selalu tampak riang gembira, ternyata sedang bersedih mendengar kabar orang tua yang sedang sakit, ada yang pusing memikirkan experiment yang tidak kunjung berhasil baik di tengah waktu yang semakin sedikit. Macam-macam.

Semua mengingatkan diriku untuk selalu bersyukur. Kami memang tidak berlebihan, dalam hal apapun juga, kerja, sekolah boleh dibilang medioker, anak-anak juga tidak menonjol di sekolah, finansial juga biasa-biasa saja, kalau tidak mau dibilang papa, tapi banyak sekali hal yang patut disyukuri. Kesehatan dan berkumpulnya keluarga adalah salah satunya. Tidak banyak hal lain yang lebih penting dari dua hal ini, setidaknya bagiku. Seperti layaknya manusia (yang kadang serakah seperti diriku), tentu banyak hal lain yang kuinginkan, tapi mungkin cukuplah itu hanya sebagai motivasi dan pendorong semangat, bukan harga mati untuk kemudian melupakan banyak hal penting lain dalam hidup.